Jumat, Februari 18

Hydrology (Surface)

  • Location

  • Method




  • Result






















Rabu, Februari 16

Hutan Primer, ???

Hutan primer, istilah ini membuat saya penasaran akhir-akhir ini. minimal ada tiga kejadian yang membuat istilah ini jadi diperdebatkan.

Pertama adalah perdebatan antara greenpeace dan dosen IPB, walaupun point centre perdebatannya tentang istililah deforestasi.

(http://www.mediaindonesia.com/read/2010/11/01/179059/89/14/Greenpeace-Gunakan-Metode-Tidak-Akurat)

Kedua adalah penetapan moratorium hutan hanya pada hutan primer.

(http://cetak.kompas.com/read/2011/02/12/03472045/moratorium.hanya.untuk..hutan..primer)

dan Ketiga adalah pertanyaan tentang hutan primer di undang-undang atau peraturan Indonesia???

Setelah bertanya ke Google University, saya mendapat beberapa definisi tentang beberapa pertanyaan saya diatas. pada intinya, secara definisi hutan primer dapat dijabarkan secara keilmuan, sedangkan secara peraturan belum ditemukan. beberapa peneliti sering menyamakan istilah hutan primer dengan hutan alam, hutan perawan.

Menurut Lamprecht (1996) pertumbuhan hutan primer riapnya kecil dan dalam skala luas besarnya mendekati nol, walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja. Untuk hutan sekunder riap awalnya besar namun lambat laun akan mengecil.
definisi ini menjelaskan hutan primer merupakan ekosistem yang sudah mencapai “klimaks” atau mencapai keseimbangan. Riap merupakan pertumbuhan, mungkin kalau dalam per-bank-kan disebut dengan “bunga”. riap yang kecil dan mendekati nol adalah gambaran ekosistem yang sudah mencapai klimaks, dimana kehilangan komponen ekosistem akan tergantikan secara otomatis dengan petumbuhan generasi berikutnya secara alami (dibaca: riap).

Sedangkan wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_primer) menggambarkan hutan primer sebagai hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya; serta dengan demikian memiliki sifat-sifat ekologis yang unik (White, 1994). Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan perawan. proses diatas menggambarkan secara lebih jelas tentang ekosistem ”klimaks”, pohon yang tumbang akan memberi ruang untuk anakan jenis tumbuh, sehingga akan menggantikan fungsinya dalam rantai ekosistem.

Beberapa definisi secara karakteristik tegakan, Umumnya karakter itu mencakup adanya pohon-pohon tua, tunggul atau batang-batang mati yang masih tegak, lapisan-lapisan tajuk (kanopi) hutan yang didominasi oleh pohon-pohon sembulan (emergent), serta akumulasi dari kayu-kayu mati berukuran besar (di antaranya adalah batang-batang rebah) digambarkan dengan strata tajuk yang beragam (US Forest Service dan Regional Ecosystem Office dalam Wikipedia).
Definisi tersebut menceritakan tentang hutan primer yang mempunyai strata tajuk yang beragam dan lengkap, mulai dari semak (tumbuhan bawah), anakan, permudaan sampai dengan pohon dewasa dengan diameter yang besar dan tinggi yang menjulang (emergent).

Hutan primer juga dikenal dengan nama-nama lain dalam bahasa Inggris seperti old-growth forest, ancient forest, virgin forest, primeval forest, frontier forest. Sedangkan secara regulasi, istilah hutan primer belum ditemukan. Namun, istilah deforestasi di definisikan dalam peraturan menteri kehutanan no P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang mengatakan Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, pengertian ini agak bertentangan dengan pengertian yang saya tangkap dari artikel pertama diatas. selebihnya, saya belum menemukan definisi yang menjelaskan tentang terminologi hutan primer di peraturan dan undang-undang negara. Hal ini seperti yang dijabarkan oleh WALHI di http://www.antaranews.com/berita/242010/cakupan-moratorium-harus-gunakan-terminologi-hutan-alam.

satu-satunya istilah hutan primer yang ditemukan adalah pada P. 33/Menhut-II/2009 tentang PEDOMAN INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA (IHMB) PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI, pada lampiran Bab III. PELAKSANAAN KEGIATAN IHMB PADA HUTAN ALAM. Kelas tutupan hutan primer (Virgin Forest) adalah hutan alam produksi yang belum pernah dieksploitasi secara terencana.

akhirnya tim UKP4 satgas REDD+ akan mendenisikan terminologi ini sebagai landasan pengambilan kebijakan. jadi kita akan tunggu bagaimana kelanjutannya..


Literatur
http://irwantoshut.webs.com/silvika.html

Jumat, Oktober 1

Go Skate, Go Green - Endank Soekamti

Dunia semakin panas

Cuaca tak tentu

Bumi yang menua

Banyak bencana

Andaikan aku bisa kuhentikan perputaran dunia

Agar aku dan kamu perbaiki semuanya

Limbah dan polusi

Ozon yang berlubang

Kutub yang Mencair

Laut meninggi

Andaikan aku bisa kuhentikan perputaran dunia

Agar aku dan kamu perbaiki semua

Biarlah anak cucu bisa menikmati indahnya hidup dalam dunia

Bergerak serentak

Selamatkan bumi

Demi masa depan kita sendiri

Andaikan aku bisa kuhentikan perputaran dunia

Agar aku dan kamu perbaiki semua

Coba menahan diri meredam nafsu eksploitasi

Hijaukan teknologi

Selamatkan bumi kita

Selasa, Juli 14

Kesadaran Lingkungan dari Dini...

Ada beberapa cerita ironis dan meyedihkan, menurut saya. bagaimana pendidikan lingkungan yang tidak ditanamkan sejak dini...

Siang hari, sehabis dari Mangga dua (Jakarta) saya pulang menuju bogor dengan kereta listrik kelas ekonomi. keretanya kumuh, kotor dan kelihatan sudah tua, saya tidak tau ni kereta bener2 sudah tua atau mengalami penuaan dini akibat pelaku penumpangnya...karena ekonomi, jadi harus berhenti di setiap stasiun. nah, di salah satu stasiun masuk serombongan ibu dan beberapa anak kecil yang duduk tepat depan saya. anak itu sedang memakan makanan ringan. setelah habis, si anak membuang bungkusnya di bawah kursi duduknya. si ibu langsung berteriak dan menyuruh si anak memungut lagi. namun, setelah bungkusan itu diserahkan ke ibunya, dengan santai si ibu membuangnya keluar kereta...sangat menyedihkan...berapa banyak orang tua seperti ini??

Kejadian seperti ini bukan cuma sekali. masih banyak sekali, merokok di kendaraan umum...bus, kereta...pernahkan kita melihat tempat umum bersih? mungkin hanya di kantor2 dan bank2 besar. di stasiun, terminal, halte bus...jangan mimpi...

saya jadi membayangkan, bagaimana dalam 10 tahun kedepan jika budaya membuang sampah saja sampai tidak dipedulikan? hfff...Kesadaran lingkungan memang harus dari dini, siapa lagi yang bisa mencontohkan selain para orang dewasa dan orang tua.

Sabtu, Mei 16

Sisa Hutan Halimun-Salak

Kapan kita bisa BELAJAR? Belum cukupkahkah JABOTABEK sebagai contoh KEBODOHAN manusia? Inginkah daerah sekitar Halimun-Salak seperti itu? marilah kita sadar Save the largest forest in Java!


Minggu, April 26

GIS, RS dan Zonasi Taman Nasional

Kalo kita mendengar istilah taman nasional, maka ga akan terlepas yang namanya zonasi. zonasi sebenernya adalah tata ruang karena didalamnya terdapat pembagian ruang secara spasial dari sudut pandang yang menitik beratkan pada ekologi, budaya dan sosial. kalo melihat definisi dalam UU 41 tahun 1999 (http://www.esdm.go.id/prokum/uu/1999/uu-41-1999.pdf) , "Kawasan Taman Nasional (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam". secara detil zonasi ini dibahas di Permenhut Nomor: P.56/Menhut-II/2006 (http://www.wg-tenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Permenhut_56_2006.pdf), di permenhut ini dibahas secara detil dan jelas tentang pedoman penyusunan zonasi taman nasional. beberapa item masih terlihat general, namun hal ini wajar karena beragamnya karakter dan ciri khas TN di Indonesia yang sangat beragam. sehingga penyusun Zonasi dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada, kasarnya kawasan TN yang dibentuk dengan tujuan melindungi suatu spesies tentuanya akan berbeda dengan TN yang fokusnya ke Ekowisata.

Beberapa tahun ini jumlah Taman Nasional bertambah secara signifikan, dalam sebuah website disebutkan bahwa peningkatan jumlah kawasan yang diubah fungsi menjadi hampir 100%, dari 30 menjadi 55 kawasan TN (http://www.kapanlagi.com/h/0000110908.html). Hal ini dikarenakan TN adalah status kawasan konservasi yang mengakomodir kepentingan non konservasi melalui sitem zonasi. beberapa kawasan konservasi mempunyai aturan yang saat tegas dan kaku dalam hal pengelolaannya, misalnya Cagar Alam, dalam kawasan ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan pengelolaan apalagi pemanfaatan. Namun, masih saja terjadi konflik sosial hampir disemua kawasan TN. biasanya isu yang berkembang adalah penggusuran masyarakat lokal. dalam sistem zonasi keberadaannya diperbolehkan apabila masyarakt telah bermukim didalam kawasan sebelum kawasan ditetapkan sebagai kawasan TN. Namun dengan aturan tertentu, biasanya ada semacam kesepakatan dengan pihak pengelola kawasan.

Nah...sebenernya kalo melihat pasal per pasal ga susah2 amat menyusun sebuah zonasi kawasan TN, karena biasanya kalimatnya terukur dan pasti. dengan peralatan yang ada kita dapat memanfaatkan tools yang tersedia. Hal yang sangat berpengaruh adalah data lapangan kawasan yang tersedia (ini yang biasanya susah) karena zonasi harus menggambarkan potensi kawasan dan bahkan permasalahannya sehingga memudahkan pengelola dalam membuat kebijakan. Dalam hal ini akan berlaku terminologi
GARBAGE IN-GARBAGE OUT...tentunya ga mau dong mempertaruhkan kawasan yang luas dan kaya potensi dengan kualitas data yang sangat buruk.

Dalam peraturan minimal ada 3 (tiga) zona dalam TN, Inti, Rimba dan Pemanfaatan. tambahanya zona lain, seperti khusus,
tradisional, sosial dan budaya, rehabilitasi, religi, budaya dan sejarah.
Zona inti
, kriterianya area ini adalah mempunyai keanekaragaman yang tinggi, formasi yang unik dan mempunyai ciri khas tertentu, area migrasi dan koridor untuk satwa. satu lagi kawasan harus cukup luas dan kompak untuk memudahkan pengelolaan. Data survey spesies dan studi khusus spesies sangat dibutuhkan, dengan menggunakan tools homerange kita dapat memperikarakan areal minimum yang akan digunakan sebagai zona inti. Data pendukung lainnya dapat menggunakan citra satelit untuk mengindentifikasi kawasan hutan dan area yang wajib dilindungi (hal ini dapat mengacu ke http://www.kkmn.org/files/Keppres_32_1990.pdf) karena fungsinya sebagai pelindung dan penyangga kehidupan. Citra landsat atau Aster menurut saya sudah cuku untuk kebutuhan ini.
Zona Rimba,
konsep zona ini adalah sebagai buffer untuk zona inti karena zona inti tidak bisa berbatasan langsung dengan zona lain. Secara tekhnis area ini dapat menggunakan tools buffer dalam software GIS. besarnya buffer sangat tergantung dengan kepentingan dan kondisi kawasan. Misalnya area TN yang mempunyai konflik masyarakat dan satwa liarnya tinggi namun intesitas masyarakat masuk dalam kawasan cukup tinggi pula....hal ini mungkin menjadi pertimbangan untuk memperluas buffer dari zona inti, karena zona inti tidak diperbolehkan adanya aktifitas selain penelitian dan patroli kawasan. Zona Pemanfaatan, Data lapangan sangat dibutuhkan untuk zona ini. Zona ini adalah bagian kawasan yang mempunyai potensi wisata dan area yang dimanfaatkan secara non fisik jasa lingkungan serta perencanaan pembangunan sarana dan sarana-prasarana (bangunan, jalan). Dalam lampiran peta zona ini dalam bentuk titik dan garis, akan di detilkan lagi dalam Rencana pengelolaan Taman Nasional.
Selain 3 zona diatas, ada beberapa zona yang dimasukkan dalam zona lainnya. Zona lain digunakan untuk mengakomodir beberapa permasalahan yang tidak masuk dalam zona diatas, misalnya ketelanjuran keberadaan masyarakat, kegiatan sosial dan budaya, religi, sarana dan prasarana untuk kepentingan nasional, kegiatan rehabilitasi. Jadi dalam peraturan ini MENGAKOMODIR kegiatan NON KONSERVASI tentunya dengan perjanjian khusus.
Zona Tradisional
, dalam aturan "Adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya" dan "Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya".

Kamis, November 20

Kesesuaian Habitat Owa Jawa di Wilayah Salak

Owa jawa atau Hylobathes moloch adalah jenis primate dari suku Hylobatidae. binatang ini berbulu abu-abu keperakan. bulu pada bagian dada dan perut umumnya lebih gelap dengan bercak berwarna hitam dengan batas becak berwarna pucat. pada bagian muka, dikelilingi bulu putih. sama dengan sukunya, dia tidak mempunyai ekor dan pergerakkannya dari dahan ke dahan oleh karena itu dia memiliki tangan yang panjang.

Menurut informasi sebuah blog tentang populasi Owa Jawa (http://eryemeb.wordpress.com/2007/12/04/apa-kabar-owa-jawa/), bahwa pada tahun 1984 Keppeler menemukan 25 populasi Owa Jawa di beberapa hutan sepanjang Jawa bagian barat sampai dengan tengah, sedangkan pada tahun 1995 Asquid melanjutkan surveynya mengidentifikasi lebih dalam pada area jawa bagian barat dan tengah mendekati Gunung Simpang. Dia memperkirakan Owa Jawa yang hidup tidak lebih dari 3000 ekor. Pada tahun 2004 Seorang peneliti dari Zoological Museum, Universitas Amsterdam Vincent Nijman memperkiraan jumlah seluruh Owa jawa yang hidup secara liar di Pulau Jawa berkisar antara 4100 sampai dengan 4500 ekor yang tersebar di 29 hutan di Jawa Barat. Menurut keterangan dari data yang dia keluarkan, jumlah itu merupakan angka yang kecil jika dibandingkan dengan laju kerusakan hutan yang terjadi. Populasi terbesar terdapat di Taman Nasional Gunung Halimun, Gunung Simpang, Dieng dan Ujung Kulon.

Habitat utama Owa Jawa adalah hutan dengan kondisi yang masih bagus (primer) karena pada umumnya owa jawa tidak akan turun ke lantai hutan, oleh karena itu species ini sering digunakan sebagai parameter kesehatan ekosistem. Dia hidup pada ketinggian 0 (hutan pantai) sampai dengan 1600 meter dpl daerah hutan pegunungan.

Ancaman terbesar satwa ini adalah pengurangan habitat dan perburuan. pengurangan habitat pada area tepi bahkan terjadinya fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat dapat menjadi sebuah awal kepunahan untuk species ini, walaupun tidak secara langsung namun berlahan-lahan. istilah fragmentasi mungkin bisa diartikan dengan pelokalisasian...eh...pelokalisiran sebuah habitat. Karena penebangan pohon, hutan yang luas akan terpecah menjadi habitat-habitat kecil. Nah...masalahnya perpidahan Owa dengan media dahan, dia ga bisa jalan kaki. jadi owa akan terperangkap pada habitat kecil tersebut. Hal ini akan menyebabkan mereka hanya akan mengawini anggota kelompok. katanya ini dapat meyebabkan species tersebut rentan terhadap penyakit. kalo kita analogikan pada hutan tanaman, sekali satu pohon kena hama nyebarnya cepet tuh ke individu yang lain.

Analisis Spasial Habitat Owa Jawa di Gunung Salak
Sebelumnya, Kawasan salak adalah hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani. Pada tahun 2003, berdasarkan SK Menhut No 175 tahun 2003 statusnya diubah menjadi taman nasional dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan Gunung Salak (GS) mempunyai potensi cukup besar. Salah satu yang cukup menonjol adalah potensi ekowisatanya, Kaki bukit GS kaya akan objek air terjun dan Kawah Ratu yang dapat di jangkau dengan cukup mudah. Suasana yang tenang dan udara yang sejuk menambah kenyamanan kawasan ini dan cocok untuk dijadikan tempat beristirahat. Selain objek wisata, kawasan ini mempunyai potensi panas bumi. Sampai saat ini, panas bumi dimanfaatkan oleh perusahaan swasta, UNOCAL. Berdasarkan analisis landsat tahun 2006, Kawasan GS mempunyai hutan primer.

Kembali ke Owa Jawa, dia mempunyai karakteristik habitat yang khas. Parameter yang digunakan adalah informasi umum yang mempunyai keterikatan erat dengan habitat dan perilaku owa, misalnya perilaku minum, sensitive , habitat favourit (hutan, semak, dll) dan masih banyak parameter yang dapat dimunculkan tergantung species. Tekhnologi remote sensing dan Geographical Information System dapat mengidentifikasi kemungkinan pemakaian habitatnya.

Informasi tentang habitat suatu satwa itu sangat penting, apalagi jenis tersebut merupakan key species dan dilindungi. Pengelola dapat melakukan prioritas pelindungan kawasan, sebagai bahan interpretasi untuk para wisatawan yang ingin melihat jenis tersebut (walaupun masih sulit karena species ini termasuk sensitive apalagi sama saingannya, Homo sapiens), dan terakhir adalah kemudahan peneliti dalam melakukan penelitian.

Dasar cerita ini awalnya dari penelitian mahasiswa S2 dari IPB bernama Dewi Helianthi. Penelitian dilakukan di Taman Nasional Gunung Halimun dengan luas berkisar 40.000 ha. Mba Dewi melakukan survey lapang dan mengumpulkan data komponen lingkungan yang dianggap berpengaruh terhadap habitat Owa Jawa yang telah ditentukan terlebih dahulu, kemudian dengan metode statistic (PCA=Principal Components Analysis) digunakan untuk menyeleksi semua parameter. Singkat cerita, akhirnya terpilih 5 komponen yang berpengaruh besar, antara lain landcover, sungai, jalan, ketinggian dan kelerengan. Pengolahan data secara statistik akan menghasilkan persamaan linier dengan pembobotan setiap parameter terpilih, sedangkan secara spasial menggunakan system overlay dengan pembobotan setiap parameter (kalo kalimat terakhir membingungkan maaf ya, saya juga bingung milih katanya).
Batas kawasan gunung salak yang digunakan adalah perkiraaan saya ga berdasarkan dokumen apapun (digitasi manual), sekiranya mewakili G. Salak sampe batas Koridor. Kesesuaian habitat owa dibagi menjadi 3 kelas, 1. kesesuaian rendah, 2. Kesesuaian sedang, dan 3. Kesesuaian tinggi.

Menurut penelitin Tobing (1999) dalam Helianthi (2005) mengatakan bahwa jenis-jenis primate memberikan reaksi negative (mengeluarkan suara atau menghidar menjauh dengan menaiki pohon) atau netral (ga kasih reaksi netral) dengan adanya kehadiran manusia. Pada jarak 20 m owa masih memerikan reaksi netral, nmun semakin dekat akan membrikan reaksi negative. Untuk ketinggian apabila ketinggian >300 m (kesesuaian tinggi), 100-300 m (kesesuaian sedang) dan kurang dari seratus kesesuaian rendah.

Menurut mba Dewi, kemiringan lereng mempunyai pengaruh terhadap kesesuaian habitat buat Owa jawa. Semakin tinggi nilai kemiringan suatu habitat semakin sesuai untuk habitat Owa Jawa. Kesesuaian habitat semakin tinggi dengan kemiringan >25%, kategori sedang dengan kemiringan 8-25% dan kategori kesesuain rendah jika kemiringan lereng 0-8%.

Sugardjito, Sinaga dan Yoneda (1997) dalam Helianthi (2005) katanya Owa jawa ditemukan pada kisaran ketinggian 1200-1750 m dpl, sedangkan menurut Keppler (1984), satwa ini hany ditemukan pada ketinggian 1600 m dpl dan mulai jarang pada ketinggian 1500 m dpl, soalnya pada ketinggia tersebut vegetasinya lebih pendek dengan cabang lebih rapat. Kondisi tersebut mempersulit geraknya. Berdasarkan ketinggian, kesesuaian tinggi jika mempunyai ketinggian <= 1500 m dpl, sedang jika 1500-1750 m dpl dan rendah jika >= 1750 m dpl.

Kata Napier (1985), Owa jawa tidak meminum air secara langsung dari sungai, namun melalui buah-buahan hujan, embun pada daun atau diambil dengan jari-jarinya. Cara owa jawa minum dengan cara menciduk air dengan tangannya atau menyentuhkan tangannya kedaun-daun basah dan kemudian menghirupnya. Kadang-kadang hal ini dilakukan ketika berjuntai diatas air dari ranting pohon kecil. Kata Hadi (2002) di kawasan TNGH mempunyai keragaman vegetasi lebih tinggi di sekitar sungai. Berdasarkan ini maka jarak <200> 400 m (kesesuaian rendah).

Owa jawa merupakan species primate yang sangat sensitive terhadap habitat sekitarnya, termasuk terhadap tipe hutan. Keluarga Owa bergerak dari satu dahan ke dahan yang lain dengan kedua tangannya, gerakan itu sering disebut brakhiasi. Kata MacKinnon dan Mackinnon (1980) dalam Chivers (1980) dalam Helianthi (2005), kalo Owa family lebih suka melakukan pergerakan pada kanopi yang bersifat menerus dan menggunakan hutan primer yang rapat dari pada hutan sekunder. Bahasan detilnya nanti dibawah ya...dibarengin ama deforestasi…. Pada dasarnya semua satwa butuh habitat sebagai shelter (yang ni buat istirahat), cover untuk berlindung dari pemangsa dan lawannya dan mencari makan. Parameter landcover, penutupan hutan primer mempunyai kesesuaian tinggi, hutan sekunder kesesuaian sedang dan penutupan lainnya kesesuaian rendah. Penutupan kawasan Gunung Salak adalah sebagai berikut


Gambar disamping adalah penutupan lahan kawasan G. salak yang dianalisis dari citra Aster tahun 2006. Luas hutan primer masih mendominasi kawasan G. Salak. luas kawasan hutan primer yang merupakan habitat utama Owa Jawa berkisar 9422.12 ha, nilai tersebut kurang lebih 69% dari luas total. Tabel di bawah menggambarkan komposisi penutupan lahan kawasan salak
Kalo dilihat tabel disamping terlihat, bahwa masih banyak kemungkinan buat kawasan
gunung salak untuk dijadikan habitat Owa Jawa. namun bukan juga Habitat Owa Jawa Seluas itu, karena masih ada beberapa faktor lagi yang menjadi pembatas, misalnya jalan. jangan-jangan kawasan itu telah terfragmentasi, atau jangan-jangan ada aktifitas manusia disekitar atau didalam hutan primer, karena seperti diceritakan diatas satwa ini tergolong sangat Sensitif. asumsi diatas masih sangat mungkin karena keterbatasan citra satelit yang digunakan (ukuran pixel citra satelit Aster adalah 15 x 15 meter...artinya sebuah objek akan teridentifikasi kalo dia mempunyai luas lebih besar dari 225 meter persegi, ini juga masih sangat suliiiit sekali.

Setelah dihitung-hitung pembobotannya, akhirnya terciptalah sebuah formula dengan pembobotan setiap parameter;

IKH= (1.776 x Flandcover) + (1.776 x Ftinggi) + (1.274 x Fjalan) + (1.274 x Fsungai) + (0.903 x Flereng)
IKH = Indeks Kesesuaian Habitat

Setelah dihasilkan analisis spasialnya, maka ditentukan selang indeks kesesuaian habitat. Nilai selang tersebut dihitung dari Mean (x) dan Standar deviasi (Sd) nilai pixel hasil analisisnya (Pusing ya, kesalahan bukan pada anda tapi pada penyusunan kalimatnya, he…). Nah seperti dibawah ini;

Penentuan selangnya rada beda sedikit dengan tulisannya mba dewi. jadi nilai pixel yang dibawah rata-rata dikategorikan mempunyai kesesuaian yang rendah. Hasil dari pengkelasan nilai pixel sebagai berikut;
Terlihat kelas kesesuaian rendah berada pada daerah yang dengan ketinggian dan pada area yang berbatasan dengan aktivitas manusia. Habitat dengan kesesuaian sedang, berada di sekitar jalan utama.
Dari kelas tersebut, dicari kawasan yang masih berpenutupan hutan primer. Hal ini terlihat pada gambar dan tabel berikutnya. Kesesuaian habitat Owa Jawa kawasan gunung salak sekitar 5935 hektar.
Waduh sebenernya masih ada beberapa kekurangan, hasil ini belum bisa di validasi. Validasi model menggunakan data lapangan tentang lokasi Owa jawa.

------------------------------------------------------------------------
- Helianti, Dewi. 2005.Tingkat Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobathes moloch Audebert) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
- http://eryemeb.wordpress.com/2007/12/04/apa-kabar-owa-jawa

Sumber data;
- Bakosurtanal
- Citra Satelite, Landcover (Landsat dan Aster) dari Gunung Halimun Salak National Park Management Project (GHSNPMP)